Foto: Ilustrasi penjara. ©shutterstock.com
Reporter: Deddy Santosa
Evo Berita - Dunia hukum Indonesia pada masa awal pemerintahan Jokowi terus dikejutkan dengan berbagai kejadian. Pertama adalah saat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan mengabulkan sebagian materi gugatan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Banyak pihak tidak menyangka Hakim Sarpin Rizaldi bakal memutuskan seperti itu. Perdebatan membahas soal itu sampai saat ini tidak ada habis-habisnya. Bahkan Sarpin diperkarakan dan dilaporkan ke Komisi Yudisial.
Kejutan masih berlanjut. Kali ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, mengumbar wacana berniat membekukan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengatur tentang remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat narapidana kasus narkotika, terorisme, korupsi, pencucian uang, dan pembalakan liar. Tujuannya adalah mengetatkan pemberian hak-hak itu bagi pelaku kriminal khusus. Diharapkan dengan begitu bakal membuat efek jera. Tetapi mereka bisa mendapatkan hak-hak itu asal melunasi sejumlah kewajiban seperti membayar denda.
Namun Menteri Yasonna berpikir lain. Menurut dia dengan menerapkan aturan itu malah mencederai hak asasi manusia dan memberikan perlakuan berbeda. Padahal menurut dia, setiap narapidana mestinya menerima hak-hak itu tanpa pembedaan. Wacana ini langsung disambut dengan penolakan. Di sisi lain, ketersediaan penjara dengan jumlah pelaku kriminal sudah tidak sebanding. Beberapa waktu lalu kerap muncul kabar kerusuhan di penjara, bahkan hingga memakan korban. Pemicunya adalah penjara sudah kelebihan kapasitas ditambah buruknya fasilitas. Hal itu menjadi pijakan lain Yasonna buat segera merevisi beleid itu.
Bila dilihat, langkah ini bertentangan dengan prinsip Presiden Joko Widodo. Dalam poin ke empat Nawa Cita, Jokowi menegaskan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Bagi para akademisi dan praktisi hukum menentang kejahatan korupsi macam korupsi, jelas wacana Menteri Yasonna dianggap menebar ancaman. Mereka berprinsip pelaku kejahatan khusus harus menerima ganjaran seberat-beratnya buat membayar perbuatannya.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas, menentang wacana itu. Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu merasa langkah pemerintah sulit diterima akal sehat dan berbanding terbalik dengan upaya perang terhadap korupsi.
"Maka aneh jika pemerintah komitmen memberantas korupsi tetap permisif dalam mengobral remisi untuk koruptor sebagai penjahat besar," tulis Busyro melalui pesan singkat, Jumat lalu.
Menurut Busyro, diskriminasi buat sebuah kejahatan khusus wajar. Dia menyatakan hal itu diperlukan supaya bisa menjadi kebijakan sistemik dalam memberi efek jera salah satunya terhadap koruptor.
"Untuk kejahatan ini justru perlu didiskriminasi sebagai bentuk diskriminasi positif," sambung Busyro.
Busyro menilai sifat, karakter dan dampak kejahatan korupsi sebagai kejahatan khusus tidak layak disamakan dengan kriminal umum. Sebab menurut dia, efek korupsi adalah membunuh pelan-pelan dan melumpuhkan fungsi-fungsi lembaga negara.
"Justru tidak mencerminkan nalar keadilan jika disamakan dengan pelaku kejahatan umum. Pemerintah hendaknya berjiwa besar dan berhati-hati," sambung Busyro.
Pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada, Oce Madril berpendapat PP 99 Tahun 2012 sudah tepat dan tak perlu dikaji lagi karena sudah memenuhi aturan berlaku. Apalagi menurut dia, beleid itu telah mengakomodir aspirasi rakyat.
"Sudah memenuhi syarat dan tidak bertentangan dengan UU dan PP itu sudah merefleksikan aturan hukum penegakan anti-korupsi serta mengakomodir suara masyarakat," kata Oce.
Oce menilai remisi napi kejahatan khusus memang harus diperketat, dan bukan diobral.
"Sehingga PP itu tidak ada yang harus dikaji, PP itu harus diperketat, ada syarat-syaratnya tidak melanggar hukum dan HAM sangat jelas sesuai dengan semangat Nawa Cita, jadi memang tidak ada yang dilanggar," tambah Oce.
0 Komentar untuk "Gonjang-Ganjing Wacana Obral Remisi di Masa Jokowi"